Indonesia, Bangsa Yang Belum Jujur
Alkisah,
pada suatu malam, ada sekelompok elit yang baru saja bubar dari pesta bertarap
internasional. Nakata Samurai, seorang dari kelompok tersebut berjalan tanpa
menggunakan alas kaki. Tiba-tiba ia berteriak. Ternyata kakinya berdarah karena
baru saja menginjak pecahan botol minuman keras (beling). Tentunya pecahan
botol itu bekas ugalan pemabuk yang melemparkan botol tanpa sadar di pinggir
jalan.
Setelah
mengobati lukanya, dengan santun Nakata mendatangi pemkot (pemerintah kota)
setempat untuk mengadukan masalahnya. Ia menuntut tanggung jawab petugas
kebersihan. Nakata merasa bahwa kecelakaannya itu disebabkan kelalaian pegawai
pemerintah. Semua orang pasti faham, tidak ada petugas kebersihan yang
menjalankan kerjanya di malam hari. Lagi pula, beling tersebut bukan ulah siapa-siapa
melainkan si pemabuk yang tak dikenal. Akhirnya, tanpa banyak mengikuti proses
yang panjang, Nakata mendapat santunan (ganti rugi dari pihak pemkot).
Peristiwa di
atas bukan di Indonesia, tetapi di Negara adi kuasa, Amerika Serikat. Nakata
Samurai juga jelas bukan orang Indonesia, melainkan warga Negara Jepang (yang
sangat memahami hak-haknya sebagai anggota masyarakat beradab). Jika yang
celaka itu adalah Muhammad Budiono, orang Indonesia, pasti ia tidak akan tahu
bahwa ia akan mendapat ganti rugi. Budi akan menganggap kejadian tersebut
sebagai musibah. Ini disebabkan ia sudah terbiasa melihat kecelakaan yang
diakibatkan keteledoran orang atau lembaga tertentu tanpa bisa melakukan
tuntutan apa-apa.
Sistem di
Indonesia sama dengan sistem masakan. Bila terasa enak, orang akan berucap,
“Masakan ini lezat.” Masakan mendapat pujian. Bila kurang enak, maka yang
terucap adalah, “Makanan ini keasinan.” Yang mendapat cemooh bukan masakannya,
melainkan makanannya yang tidak sesuai adonan. Jika sebuah kota bersih karena
masyarakatnya yang sering bergotong-royong keja bakti, maka yang mendapat
penghargaan pemerintah setempat (semacam adipura begitu). Sebaliknya, jika kota
jorok pasti yang dipersalahkan penduduknya yang tidak ramah lingkungan. Bila
kendaraan lalu lalang dengan baik dan tertib, POLANTAS (polisi lalulintas)
mendapat pujian. Namun, jika terjadi kecelakaan, pengendaranya harus
bertanggung jawab.
Bila di
Tanggerang, Banten, rakyat berbondong-bondong memperbaiki Tanggul Situ Gintung,
pemerintah kabupaten akan berkata, “Berkat kerja pemerintah, tanggul ini dapat
menampung air sebanyak-banyaknya sekaligus menjadi tempat wisata bagi
pengunjung.” Bila tanggul tersebut jebol, terjadi banjir besar dan
menghancurkan rumah pemukiman di sekelilingnya bahkan menewaskan ratusan warga,
akibat pemerintah kabupaten tidak mengalokasikan dana untuk perawatannya, maka
yang kita dengar, “Pemkab (pemerintah kabupaten) tidak bertanggung jawab untuk
pengalokasian dana bagi perawatannya, itu tanggung jawab pusat. Lagi pula,
warga tidak di perkenankan bermukim di area tanggul.” Atau pejabat yang
bertanggung jawab soal musibah itu akan mengatakan “Alam sudah murka kepada
kita, curah hujan telah memporak-porandakan rumah pemukiman, mari kita
berdo’a.”
Sistem
masakan harus dibedakan dari sistem masyarakat yang beradab. Yang kedua adalah rule of law; dan yang pertama adalah law of the ruler. Dalam bahasa agama,
yang kedua itu keadilan; sementara yang pertama adalah kedzaliman. Coba kita
bandingkan dua aturan tersebut.
Menurut
sistem masyarakat yang beradab, rakyat harus membayar pajak dan menyerahkan
kekayaan alam kepada Negara (meski rakyat pun punya kekuasaan penuh terhadap
suber daya alam). Dengan demikian, rakyat menitipkan kesejahteraan hidupnya
kepada aparat pemerintah, menitipkan keamanan kepada aparat kepolisian, kenyamanan
hidup dan lingkungan lewat kondusifitas infrastruktur melalui dinas pekerja
umum, kemudahan untuk bekerja kepada departemen tenaga kerja, dan seterusnya.
Jika semua institusi itu tidak menjalankan fungsinya, rakyat berhak menuntut.
Nakata
menuntut karena kakinya luka. Ia terluka karena petugas kebersihan kota tidak
menjalankan fungsinya. Kawan Nakata di Jepang berprofesi sebagai penjaga toko.
Beberapa isi toko hilang di curi, ia bunuh diri karena malu tidak menjalankan
tugasnya dengan baik (lalai). Kawan Nakata tersebut takut jika dituntut pemilik
toko.
Sementara
itu Budiono, hidup di Indonesia. Sistemnya adalah sistem masakan itu. Jika Budi
menginjak pecahan piring di jalan, ia tidak boleh menuntut. Budi dianggap
celaka akibat ulahnya sendiri yang tidak berhati-hati berjalan. Ia harus
memperhatikan setiap sebilah tanah yang diinjaknya. Petugas kebersihan tentunya
tidak bertanggung jawab dan lepas tangan dari masalah itu.
Keluarga
Budi tinggal di Ibu Kota. Seluruh kekayaan mereka habis di sapu banjir.
Anak-anak mereka kehilangan orang tua begitupun orang-tua yang harus kehilangan
anak-anaknya akibat dentuman air tanggul. Kerugian material dan non material
sudah tak terhitung lagi. Sebelum tanggul jebol, rakyat sudah melaporkan kepada
pihak pemerintah untuk memperhatikan tanggul yang sudah rusak. Namun,
pemerintah tidak mengindahkan aspirasi tersebut. Ketika tanggul jebol pemerintah
lempar tanggung jawab. Diakui oleh LSM Lingkungan, aparat pemerintah lalai
merawat tanggul itu, sehingga ada kesan membiarkan kecelakaan itu terjadi.
Tidak ada
pejabat yang bunuh diri, seperti satpam toko di Jepang. Tidak ada yang mengakui
kelalaiannya dalam menjalankan tugas. Bahkan tidak terdengar permohonan maaf
dari pemerintah setempat, justru yang terjadi adalah lempar tanggung jawab.
Cukuplah kesalahan ditimpakan kepada warga yang bermukim dan hujan yang turun
deras. Warga itu entah datang dari mana, mereka hanya mencoba bertahan hidup.
Begitupun hujan, bukan disuruh dan tidak dipanggil. Pemerintah tidak
mengantisipasi semua itu.
Sekedar
untuk diketahui, Menteri Perhubungan Jepang mengundurkan diri karena sebuah
kapal jatuh dan menewaskan ratusan penumpang. Tidak satu Menteri pun di
Indonesia yang bertanggung jawab atas wafatnya ratusan warga pada musibah Situ
Gintung. Sementara itu, ratusan orang di negeri ini menangisi kehilangan harta
dan nyawa tanpa menuntut siapa pun. Mereka hanya sanggup bertanya (itu pun di
dalam hati): Apa gunanya semua pajak, ditambah upeti, yang telah mereka
bayarkan?
Semoga kita bisa belajar dari Nakata dan
rekan-rekannya. Semoga para korban diberikan ketabahan. Dan kita, bersiap-siap
akan menjadi korban sistem masakan. Wallahu ‘alam
Post a Comment